Jumat, 18 Juli 2014

Untuk Rumah Tercinta











Kulihat Bunda sedang sibuk memilih bahan makanan di sampingku. Aku hanya memilih makanan ringan untuk di mobil. Kuhembuskan nafasku berat. Kulihat trolly kami sudah penuh dengan barang-barang. Aku berdecak heran melihat kegiatan Bunda yang satu ini.
Memang, ini kegiatan akhir bulan yang rutin Bunda lakukan. Walaupun ini semua sudah biasa, tetap saja aku heran karena Bunda tak pernah mau menngatakan untuk siapa semua ini. Aku selalu protes pada Bunda, namun Bunda hanya tersenyum sambil berlalu.
“Nanti saja kalau kamu sudah besar, Bunda pasti kasih tahu kamu untuk siapa semua ini..”
Ketika mendengar jawaban Bunda aku hanya diam dan menyimpan rasa penasaranku dalam hati. Kadang aku kesal juga, ketika melihat Bunda berbelanja barang-barang seperti sekarang ini. Banyak sekali sampai aku tak bisa menebak berapa juta yang Bunda keluarkan. Aku heran juga melihat Papa hanya diam melihat Bunda mengahabiskan uang segini banyaknya.
Hari ini, pagi-pagi betul Bunda mengajakku untuk menemaninya berbelanja. Katanya sih mau membeli sesuatu yang penting. Aku sih oke-oke aja. Kuantar Bunda ke sebuah supermarket di daerah Bogor selatan, dan di sinilah aku sekarang..
JJJ
Kulihat dari dalam mobil banyak anak yang sedang bermain di halaman sebuah rumah besar. Bunda  turun dari mobil. Tangannya melambai padaku menyuruhku untuk segera turun bersamanya. Aku bertanya-tanya, di mana, sih, ini?.
Aku turun mengikuti Bunda dan berjalan di sampingnya. Tadi aku ketiduran di mobil, jadi aku gak tahu Bunda membawaku ke mana. Kulihat di sekelilingku, banyak sekali anak kecil sedang bermain. Kulihat sebuah papan yang tergantung di dekat pintu masuk rumah yang ada di depanku ini. Hha? Panti asuhan?, refleks aku memandang Bunda, seolah minta penejelasan.
“Udah, masuk aja dulu, nanti kamu juga bakal tahu,” Bunda mendahuluiku masuk ke dalam.
Di ruang tamu yang lumayan besar, kami disambut oleh seorang ibu yang kelihatan begitu akrab dengan Bunda. Mungkin umurnya enam puluh tahunan. Rambutnya sudah banyak yang putih.
“Ini anak kamu, to Ma? Sudah besar ya..,” tangan ibu itu mengelus kepalaku. Lembut sih, tapi aku gak suka. Aku semakin sebal dengan Bunda. Ada apa, sih sebenarnya? Aku jadi makin bingung.
Ternyata nama ibu itu bu Yati, orang dari Jogja. Pantes logatnya aneh, pikirku. Kami diantar ke sebuah ruangan oleh bu Yati. Kata Bunda, ini ruangan kantor bu Kepala. Aku cuma diam, menuruti apa kata Bunda walau aku merasa bosan setengah mati. Kami ditinggal berdua oleh bu Yati, katanya bu Kepala masih ada rapat sebentar di luar. Jadi kami harus menunggu barang setengah jam. Aku semakin sebal.
“Ngapain, sih Bun kita ke sini? Bosen nih Edgar..,” ucapku sebal.
“Gar..” Bunda memandangku lembut, “Kamu bilang kamu pengen tahu segalanya tentang Bunda, tentang kenapa Bunda membeli barang-berang segini banyaknya.”
“Aku tahu kok barang-barang ini buat anak panti.” Jawabku cepat, “Edgar bosen Bun di sini, Edgar pengen pulang.”
“Gar... Bunda udah nunggu sampai empat belas tahun buat cerita ke kamu.”
Aku hanya diam mendengar Bunda. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Cerita apa sih yang mau Bunda ceritain? Kok harus nunggu empat belas tahun segala..
“Gar..” panggil Bunda padaku, aku menoleh perlahan.
“Kamu mau, kan dengerin Bunda?”
Kuhembuskan nafasku perlahan, “Iya, Edgar mau..”
JJJ
“Dulu Bunda hidup di sini Gar..,” ucap Bunda menerawang ke langit. Aku sedikit kaget mendengan ucapan Bunda.
“Kamu tahu? Di sini, di kursi ini biasannya Bunda dan teman-teman belajar bersama. Di tempat terbuka, ini tempat favorit Bunda. Taman panti yang tak pernah berubah dari dulu..”
“Dari kecil Bunda ada di sini, bersama anak-anak lain yang nasibnya seperti Bunda, gak punya orang tua. Bunda tumbuh besar di sini dengan kasih sayang para ibu Panti,  salah satunya bu Yati. Bunda sangat sayang dengan panti ini, layaknya Bunda sayang kamu dan Papa. Di sini banyak kenangan tentang Bunda tersimpan...”
“ Sampai sekarangpun Bunda gak tahu siapa orang tua Bunda. Lima belas tahun terakhir ini Bunda menyuruh orang untuk mencari tahu siapa orang tua Bunda, tapi hasilnya nihil. Terkadang Bunda ingin berteriak pada Tuhan, di mana orang tua Bunda sekarang, yang tega-teganya membuang Bunda di panti asuhan ini...”
Kulihat Bunda berlinang air mata. Aku hanya diam tak mampu bicara. Kini aku mengerti kenapa Bunda tak pernah mau memberi tahu dimana kakek nenekku. Aku paham sekarang, ternyata Bunda begitu menderita selama ini.
“Dari kecil, hanya panti asuhan ini yang menemani hari-hari Bunda, yang menjadi saksi bisu pertumbuhan Bunda. Itulah kenapa Bunda selalu membeli barang-barang untuk keperluan panti ini. Awalnya Bunda ingin cerita sama kamu supaya kamu gak salah paham karena Bunda sudah mengahabiskan uang banyak. Bunda hanya ingin membalas budi untuk panti ini, dulu Bunda yang menerima uluran tangan mereka, kini saatnya Bunda memberikan apa yang bisa Bunda berikan untuk panti ini..”
Aku menoleh ke arah Bunda, ia tersenyum padaku. “Maafin Edgar ya Bun.. Edgar pernah sebel sama Bunda karena ngeliat Bunda belanja. Kalau tahu itu semua untuk panti, pasti Edgar gak bakal mikir yang macem-macem.”
“Iya.. ini juga salah Bunda, kok, nggak cerita ke kamu. Mulai sekarang, kamu mau, kan bantuin Bunda untuk membalas semua kebaikan panti ini pada Bunda?.
Aku mengangguk mantap, “Pasti dong Bun, ini, kan saatnya kita memberi..”

Kami berdua tersenyum senang. Aku mengerti sekarang kenapa Bunda selalu mengajarkan betapa pentingnya memberi sesuatu di saat kita mempunyai sesuatu yang lebih, karena sekarang adalah waktu untuk Bunda memberi, memberi apa yang Bunda punya untuk rumah tercintanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar