Kulihat Bunda sedang sibuk memilih
bahan makanan di sampingku. Aku hanya memilih makanan ringan untuk di mobil. Kuhembuskan
nafasku berat. Kulihat trolly kami sudah penuh dengan barang-barang. Aku
berdecak heran melihat kegiatan Bunda yang satu ini.
Memang, ini kegiatan akhir bulan
yang rutin Bunda lakukan. Walaupun ini semua sudah biasa, tetap saja aku heran
karena Bunda tak pernah mau menngatakan untuk siapa semua ini. Aku selalu
protes pada Bunda, namun Bunda hanya tersenyum sambil berlalu.
“Nanti saja kalau kamu sudah besar, Bunda pasti kasih tahu kamu untuk siapa
semua ini..”
Ketika mendengar jawaban Bunda aku hanya diam dan menyimpan rasa
penasaranku dalam hati. Kadang aku kesal juga, ketika melihat Bunda berbelanja
barang-barang seperti sekarang ini. Banyak sekali sampai aku tak bisa menebak
berapa juta yang Bunda keluarkan. Aku heran juga melihat Papa hanya diam
melihat Bunda mengahabiskan uang segini banyaknya.
Hari ini, pagi-pagi betul Bunda mengajakku untuk menemaninya berbelanja. Katanya
sih mau membeli sesuatu yang penting. Aku sih oke-oke aja. Kuantar Bunda ke sebuah supermarket di daerah
Bogor selatan, dan di sinilah aku sekarang..
JJJ
Kulihat dari dalam mobil banyak
anak yang sedang bermain di halaman sebuah rumah besar. Bunda turun dari mobil. Tangannya melambai padaku
menyuruhku untuk segera turun bersamanya. Aku bertanya-tanya, di mana, sih, ini?.
Aku turun mengikuti Bunda dan berjalan di sampingnya. Tadi aku ketiduran di
mobil, jadi aku gak tahu Bunda membawaku ke mana. Kulihat di sekelilingku,
banyak sekali anak kecil sedang bermain. Kulihat sebuah papan yang tergantung
di dekat pintu masuk rumah yang ada di depanku ini. Hha? Panti asuhan?,
refleks aku memandang Bunda, seolah minta penejelasan.
“Udah, masuk aja dulu, nanti kamu
juga bakal tahu,” Bunda mendahuluiku masuk ke dalam.
Di ruang tamu yang lumayan besar,
kami disambut oleh seorang ibu yang kelihatan begitu akrab dengan Bunda. Mungkin
umurnya enam puluh tahunan. Rambutnya sudah banyak yang putih.
“Ini anak kamu, to Ma? Sudah
besar ya..,” tangan ibu itu mengelus kepalaku. Lembut sih, tapi aku gak suka. Aku
semakin sebal dengan Bunda. Ada apa, sih sebenarnya? Aku jadi makin bingung.
Ternyata nama ibu itu bu Yati,
orang dari Jogja. Pantes logatnya aneh, pikirku. Kami diantar ke sebuah ruangan
oleh bu Yati. Kata Bunda, ini ruangan kantor bu Kepala. Aku cuma diam, menuruti
apa kata Bunda walau aku merasa bosan setengah mati. Kami ditinggal berdua oleh
bu Yati, katanya bu Kepala masih ada rapat sebentar di luar. Jadi kami harus
menunggu barang setengah jam. Aku semakin sebal.
“Ngapain, sih Bun kita ke sini?
Bosen nih Edgar..,” ucapku sebal.
“Gar..” Bunda memandangku lembut, “Kamu bilang kamu pengen tahu segalanya
tentang Bunda, tentang kenapa Bunda membeli barang-berang segini banyaknya.”
“Aku tahu kok barang-barang ini buat anak panti.” Jawabku cepat, “Edgar
bosen Bun di sini, Edgar pengen pulang.”
“Gar... Bunda udah nunggu sampai empat belas tahun buat cerita ke kamu.”
Aku hanya diam mendengar Bunda. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Cerita apa
sih yang mau Bunda ceritain? Kok harus nunggu empat belas tahun segala..
“Gar..” panggil Bunda padaku, aku menoleh perlahan.
“Kamu mau, kan dengerin Bunda?”
Kuhembuskan nafasku perlahan, “Iya, Edgar mau..”
JJJ
“Dulu Bunda hidup di sini Gar..,” ucap Bunda menerawang ke langit. Aku
sedikit kaget mendengan ucapan Bunda.
“Kamu tahu? Di sini, di kursi ini biasannya Bunda dan teman-teman belajar
bersama. Di tempat terbuka, ini tempat favorit Bunda. Taman panti yang tak pernah
berubah dari dulu..”
“Dari kecil Bunda ada di sini, bersama anak-anak lain yang nasibnya seperti
Bunda, gak punya orang tua. Bunda tumbuh besar di sini dengan kasih
sayang para ibu Panti, salah satunya bu
Yati. Bunda sangat sayang dengan
panti ini, layaknya Bunda sayang kamu dan Papa. Di sini banyak kenangan tentang
Bunda tersimpan...”
“ Sampai sekarangpun Bunda gak tahu siapa orang tua Bunda. Lima belas tahun
terakhir ini Bunda menyuruh orang untuk mencari tahu siapa orang tua Bunda,
tapi hasilnya nihil. Terkadang Bunda ingin berteriak pada Tuhan, di mana orang
tua Bunda sekarang, yang tega-teganya membuang Bunda di panti asuhan ini...”
Kulihat Bunda berlinang air mata. Aku hanya diam tak mampu bicara. Kini aku
mengerti kenapa Bunda tak pernah mau memberi tahu dimana kakek nenekku. Aku
paham sekarang, ternyata Bunda begitu menderita selama ini.
“Dari kecil, hanya panti asuhan ini yang menemani hari-hari Bunda, yang
menjadi saksi bisu pertumbuhan Bunda. Itulah kenapa Bunda selalu membeli
barang-barang untuk keperluan panti ini. Awalnya Bunda ingin cerita sama kamu
supaya kamu gak salah paham karena Bunda sudah mengahabiskan uang banyak. Bunda
hanya ingin membalas budi untuk panti ini, dulu Bunda yang menerima uluran
tangan mereka, kini saatnya Bunda memberikan apa yang bisa Bunda berikan untuk
panti ini..”
Aku menoleh ke arah Bunda, ia tersenyum padaku. “Maafin Edgar ya Bun..
Edgar pernah sebel sama Bunda karena ngeliat Bunda belanja. Kalau tahu
itu semua untuk panti, pasti Edgar gak bakal mikir yang macem-macem.”
“Iya.. ini juga salah Bunda, kok,
nggak cerita ke kamu. Mulai
sekarang, kamu mau, kan bantuin Bunda untuk membalas semua kebaikan panti ini
pada Bunda?.
Aku mengangguk mantap, “Pasti dong Bun, ini, kan saatnya kita memberi..”
Kami berdua tersenyum senang. Aku mengerti sekarang kenapa Bunda selalu
mengajarkan betapa pentingnya memberi sesuatu di saat kita mempunyai sesuatu
yang lebih, karena sekarang adalah waktu untuk Bunda memberi, memberi apa yang
Bunda punya untuk rumah tercintanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar